Senin, 29 Maret 2010

Raja Bone Melegenda di Butta Toa

*Diterbitkan di Harian Fajar

SALAH satu legenda yang dikenang di Bantaeng adalah Latenri Ruwa, raja Bone yang memilih tinggal di Bantaeng setelah merasa terkucilkan di tanah kelahirannya. Namanya bahkan dipatenkan di salah satu pekuburan raja-raja Bantaeng.

Sebuah papan nama berdiri di kompleks pemakaman di Keluarahan Pallantikang, Kecamatan Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan. Pekuburan ini berbeda dengan kompleks pemakaman lainnya di daerah yang berada 130 kilometer dari Kota Makassar. Uniknya di daerah ini kuburan bukan lagi menjadi hal horor atau mistis di kalangan anak-anak. Dibeberapa sudut kota kuburan atau pemkakamn bahkan menjadi pemandangan tersendiri. Tak kala uniknya saat penulis mendapatkan satu rumah hunian yang terdapat di belakang pekuburan yang jalan utama menuju rumah ini melewati tengah kuburan.

Kembali ke pemakaman tadi, di papan namanya jelas tertulis perbedaan kompleks pemakaman tersebut dengan kuburan lain kebanyakan.

"Taman Purbakala Kompleks Makam Latenri Ruwa dan Makam Raja-raja Bantaeng" demikian tertulis pada papan nama tersebut. Kompleks makam ini menjadi tempat peristirahatan kebanyakan raja-raja Bantaeng. Uniknya nama Latenri Ruwa, sang raja dari Kerajaan Bone seakan menjadi tokoh sentral di pekuburan tersebut. Pada hal bukan hanya Latenri Ruwa yang dimakamkan di tempat tersebut, bukan juga yang pertama di makamkan di tempat tersebut.

"Lalu kok bisa yah... nama Latenri Ruwa dijadikan nama untuk kompleks pekuburan itu," celutut penulis. Sejarawan di daerah itu, Muhammad Nasrun Nastura, yang didatangi penulis di kediamannya, membeberkan keberadaan Latenri Ruwa di kabupaten yang dikenal dengan julukan Butta Toa (Kota Tua). Menurutnya Latenri Ruwa adalah raja Bone yang ke 11 yang memilih tinggal di Bantaeng setelah diusir dari kerajaannya karena memeluk agama Islam. Sekadar diketahui Bone merupakan kerajaan yang cukup besar di zamannya di Sulsel berdampingan dengan Kerajaan Gowa.

Latenri Ruwa dikenal sebagai salah satu murid terbaik Dato ri Bandang. Dia kata Nasrun adalah raja Bone pertama yang menerima ajakan Raja Gowa ke 14, Imangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin, untuk mempelajari Islam.

Namun keputusan Latenri Ruwa mempelajari dan memeluk Islam ternyata tidak mendapat persetujuan dari anggota adat "Arung Puti" kerajaan Bone. Atas keputusan belajar dan memeluk Islam itulah menurut Nasrun yang mengakibatkan Latenri Ruwa ditolak di kerajaannya saat kembali.

"Saat ditolak itulah, Latenri Ruwa memilih tinggal di Bantaeng dan mengajarkan Islam di tempat ini," ujarnya. Latenri Ruwa akhirnya memutuskan untuk tinggal di Bantaeng sambil menyebarkan dan mengajarkan agama Islam di daerah yang pernah disinggahi laskar Majapahit dibawa pimpinan Patih Gaja Madah itu. Latenri Ruwa akhirnya menjadi salah satu dari empat legenda penyebar islam di Bantaeng.

Kepemimpinan Latenri Ruwa tidak berakhir setelah meninggalkan kerajaan Bone. Bermaksud tinggal di Bantaeng, Latenri Ruwa akhirnya kembali diangkat menjadi raja di Bantaeng dengan gelar kebangsawanan Bantaeng, Massangkirang Daeng Mamangung Karaeng Majjombea Matinroa Rijalanjang.

Latenri Ruwa dalam sejarah kerajaan Bantaeng dikenal sebagai raja ke 14 Bantaeng, yang memerintah sejak tahun 1590 hingga 1620. Latenri Ruwa kini menjadi salah satu legenda yang dikenal di Bantaeng. Tidak heran jika namanya menjadi maskot di pekubaran para bangsawan tersebut.

Saat penulis mengunjungi kompleks makam itu, sayangnya penjaga makan tersebut tidak berada ditempat. Penulispun tak dapat menemukan makam Latenri Ruwa. Rata-rata makam dikompleks tersebut memiliki arsitektur zaman dulu, sehingga penulis sangat kesulitan menemukan makam yang dimaksud. Ada dua gerbang untuk masuk ke kuburan ini. Hari itu, hanya gerbang yang ada pos jaganya yang terbuka. Tak ada seorangpun di pos penjagaan tersebut, walaupun pintunya terbuka lebar.

Latenri Ruwa hingga saat ini kata Nasrun masih dikenal dan dikenang sebagai salah satu tokoh penyebar Islam di Bantaeng bersama Syeh Abdul Gani, yang namanya diabadikan menjadi nama masjid terbesar di Bantaeng. Penulis yang coba menelusuri jejak keluarga atau keturunan Latenri Ruwa tak berhasil menemukannya. Dia diperkirakan tidak memiliki keturunan Bantaeng. Pasalanya pasca pemerintahannya bukan dari garis keturunan Latenri Ruwa yang memegang pucuk pimpinan kerajaan melainkan orang Bantaeng asli.

Stroberi di Kampung Wisata

*Diterbitkan di Harian Fajar

DINGIN adalah kata yang pertama kali keluar dari mulut teman yang menemani saya ke daerah yang harus ditempuh sekita empat jam perjalanan dari Makassar. Jaraknya sekitar 155 kilometer dari Kota Makassar. Letaknya di salah satu kabupaten kawasan selatan Sulawesi Selatan. Nama daerah itu Kabupaten Bantaeng.

Medan yang sulit akan ditemui untuk sampai di kawasan ini. Jalur mendaki membuat waktu yang harus di tempuh menjadi agak lama. Sebuah kampung bernama Kampung Muntea, Dusun Cidondong Paring-paring (Cipar) Desa Bontolojong, Kecamatan Uluere, Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Kampung ini ditetapkan sebagai kampung pariwisata oleh pemerintah setempat karena potensi yang dimilikinya.

Suasana di daerah ini hampir mirip dengan salah satu daerah di Kabupaten Gowa, Malino. Kawasan wisata di daerah itu yang banyak dikunjungi untuk bersantai. Malino diketahui sebagai daerah dingin di kawasan selatan Sulsel. Namun sebagian orang yang pernah berkunjung ke Muntea mengatakan daerah itu lebih dingin dari Malino.

Untuk sampai di perkampungan wisata tersebut, penulis harus melewati jalan berliku dan mendaki. Tapi setidaknya hal itu menjadi pemandangan sekaligus rintangan tersendiri untuk sampai di daerah ini.

Daerah Muntea lebih dikenal dengan tanaman yang ada di daerah itu ketimbang suhunya yang dingin. Stroberi menjadi salah satu tanaman khas di kawasan itu. Bahkan stroberi ditempat ini bisa dikatakan salah satunya budidaya di kawasan selatan Sulsel yang berhasil dikembangkan. Saya sempat singgah di kediaman salah seorang warga yang mengembangkan apel di Kampung Lannying Satu, Desa Bonto Lojong, atau sekitar 30 menit sebelum sampai ke Muntea. Namanya petani itu, H Rahim, di depan rumah panggung miliknya, dia menunjukkan pohon apel yang berbuah. Bentuknya memang kecil, setidaknya jauh bila dibandingkan dengan tanaman apel di Batu Malang. Namun menurutnya dia bersama petani lainnya memang masih dalam tahap penyesuaian.

Potensi-potensi inilah yang membuat Desa Bontolojong ditetapkan sebagai perkampungan wisata. Jarak dari Lannying Satu menuju Muntea masih jauh, sekitar 15 kilometer. Dari lokasi tadi ke daerah Muntea pemandangan pohon pinus akan di jumpai di sepanjang jalan.

Jalan beraspal juga tidak sampai diwilayah itu. saya masih harus melalui jalan berbatu sekitar 200 meter untuk sampai di perkebunan stroberi yang dimaksud. Sebuah kebun stroberi dipagari dengan bambu tampak di samping rumah panggung. Di pintu masuk kebun, sebuah papan kecil berwarna putih bertuliskan angka-angka nominal rupiah diikat di pagar.

Nominal rupiah tersebut adalah harga yang harus ditebus bila akan masuk di kebun stroberi itu, termasuk bila akan memetik dan mengambil buah. Perkilogramnya tertulis seharga Rp 40 ribu, Rp 1000 perbiji, Rp 5 ribu untuk bibit. Bahkan untuk buka pintu pagar saja, pengunjung harus mengocek kantong, Rp 5 ribu perorang.

Di dalam kebun seorang pria menggunakan baju kaos berwarna kuning lagi sibuk menyiram stroberi tersebut. Namanya Ansar, dia dikenal sebagai petani yang mengembangkan stroberi pertama kali di desa ini. "Awalnya cuma coba-coba, karena saya yakin di daerah ini bisa tumbuh stroberi maka saya kembangkan terus dan hasilnya seperti ini," ujarnya menjelaskan awal mulanya dia menanam stroberi di kebun samping rumahnya.

Tak banyak yang percaya usahanya akan berhasil, tapi berkat dukungan dari pemerintah daerah setempat, kebun stroberinya saat ini menjadi salah satu jualan daerah yang di kenal dengan julukan Butta Toa itu. Bahkan seorang investor dari luar sudah berencana membangun hotel tak jauh dari areal perkebunan stroberi itu. Lahan perkebunan stroberi memang belum seluas di Ciwidey Kabupaten Bandung, Jawa Barat, namun dengan potensi yang dimiliki pemkab setempat yakin dapat menyamapi kawasan wisata stroberi di Kabupaten Bandung.

Secara runtut Ansar menjelaskan awal mulanya dia mengambangkan stroberi hingga sekarang dan ditetapkannya Muntea sebagai perkampungan wisata. Tak jarang Ansar harus keluar Sulawesi untuk melakukan studi banding ke daerah perkebunan stroberi di Jawa Barat. "Bibitnya pertama kali saya ambil di Bandung," ujarnya.

Hingga saat ini pengunjung ke tempat ini bukan saja warga Bantaeng. Tercatat di buku tamunya, orang-orang dari kabupaten lain, termasuk Makassar pernah berkunjung ke tempat ini. Bahkan dari orang dari luar negeri pun sudah mulai berkunjung ke lokasi ini. "Kalau tidak salah dua minggu lalu, ada orang Jepang yang berkunjung ke tempat ini," terang Ansar sambil memperlihatkan nama bertuliskan Mr Shigenobu Fujioka, dari tokyo Jepang, di buku tamunya.

Selain Mr Shigenobu Fujioka, dari Jepang, seorang warga dari Belanda kata Ansar juga sudah pernah mengunjungi kebunnya. "Namanya saya lupa, tapi yang saya ingat dia sangat memuji stroberi saya," kata Ansar. Pohon stroberi yang dikembangkan Ansar saat ini sebanyak, 8000 pohon, disamping rumahnya, dan 5000 pohon di belakang rumah.

Ketinggian di tempat ini menurut Ansar, 1216 dari permukaan laut. Pemandangan kota Bantaeng dapat dilihat dari tempat ini. Bahkan wilayah kabupaten tetangga seperti Kabupaten Jeneponto dan Bulukumba juga tampak. "Kalau cuaca agak bagus, kurang awan, Selayar (Salah satu kabupateb kepulauan di Sulsel) juga bisa dilihat dari sini," terangnya. Semakin sore, rasa dingin semakin terasa. Waktu pulang, masyarakat yang dilalui di jalan bahkan kebanyakan sudah lengkap dengan sarungnya untuk menahan rasa dingin. Sayapun memutuskan meninggalkan daerah itu sebelum embun membatasi pandangan saya.

Senin, 22 Februari 2010

Pernah Dijadikan Tempat Persembunyian Kahar Muzakkar

KAMBUNO tiba-tiba kembali ramai dibicarakan pasca hilangnya
lima pendaki dari Kelompok Pencinta Alam Sawerigading (Kampas) Kota
Palopo yang melakukan eksepedisi menuju puncak Kambuno yakni
Langtangunta. Banyak Cerita dari gunung ini, termasuk dari sisi
sejarah dan mistiknya.

ബണ്ട് Lantangunta adalah penamaan yang sering disebut warga sekitar
untuk puncak Gunung Kambuno. Langtangunta merupakan puncak ketiga
dari tiga puncak yang ada di gunung ini. Puncak tertinggi inilah yang
sering dijadikan kelompok pendaki sebagai sasaran utama dalam
melakukan pendakian ke Gunung Kambuno.

Sebelum sampai ke puncak Lantangunta pendaki harus melalui dua puncak
lainnya yakni puncak Kusang dan puncak Kambuna. Namun tiga puncak ini
masih dalam satu kesatuan Gunung Kambuno. Gunung Kambuno sendiri
diketahui memiliki ketinggian 2.950 meter dari permukaan laut (Mdpl).
Gunung ini meruapak gunung tertinggi kelima di Sulawesi Selatan dan
masih lebih tinggi dari gunung Lompobattang, yang memiliki ketinggian
2.871 meter.

Gunung Kambuno diketahui masuk dalam kawasan tiga kecamatan yang ada
di Kabupaten Luwu Utara. Di kaki gunung atau sering disebut oleh
kelompok pendaki sebagai kilometer 45 yang merupakan garis star
melakukan pendakian ke Gunung Kambuno masuk dalam wilayah Kecamatan
Sabbang. Semantara di wilayah pegunungannya sendiri dibagi oleh
Kecamatan Seko dan Kecamatan Limbung. Untuk puncak Kambuno yakni Buntu
Lantangunta sudah masuk wilayah Kecamatan Seko.

Kawasan di gunung ini termasuk rawan lonsor. Selain beberapa wilayah
bermaterikan tanah gembur, di gunung ini juga pernah menjadi lokasi
pelaku penebangan liar merajalela. Ditakutkan saat hujan, longsor
dibeberapa kawasan rawan terjadi. Apalagi beberapa pekan terakhir
hujan mengguyur lokasi ini. Kemarin malam misalnya, Rabu, 10 Februari,
hujan keras sempat mengguyur gunung ini.

Jalur yang digunakan pendaki sendiri untuk masuk melakukan pendakian
ke gunung ini melalui ibu Kota Kecamatan Sabbang ke Desa Malimbu. Dari
desa ini hingga kilometer 13 merupakan daerah terakhir yang masih bisa
dijangkau oleh signal telepon seluler. Melewati batas kilometer 13
komunikasi menggunakan telepon seluler sudah terputus. Desa Malimbu
biasanya digunakan pendaki sebagai tempat peristirahatan sebelum
mengarah ke desa terakhir, yakni Desa Mangkaluku dan kaki Gunung
Kambuno. Dari Desa Malimbu ke Desa Mangkaluku membutuhkan waktu
lebih dari 24 jam jika ditempuh dengan jalan kaki.

Dari kilometer 13 ke kilometer 23 pendakian sudah terasa. Di kilometer
23 pendaki biasanya menggunakan kawasan ini sebagai camp pertama. Dari
kilometer 23 mengarah ke camp kedua masih akan ditemui perkampungan
yakni Kampung Kurirang. Dari kampung ini ke Desa Mangkaluku yang
merupakan desa terakhir sebelum mengarah ke kaki gunung atau kilometer
45 harus melalui jembatan gantung dengan medan masih melalui
perintisan jalan. Medan berat sudah akan menanti setelah melalui
Mangakaluku ke camp kedua dengan melalui jembatan gantung kedua dan
trekking cukup berat.

Dari camp kedua ke kilometer 45 medan jalan yang dilalui semakin
berat. Di kilometer 45 inilah yang sering dijadikan sebagai pos
pertama pendaki sebelum melakukan pendakian ke Gunung Kambuno.
Pendakian dari pos pertama ke pos kedua trekking melewati pegunungan
dan melalui jalur longsoran. Dari pos pertama hingga pos terakhir
yakni pos ke delapan di puncak Kambuno pendaki akan melewati medan
berat termasuk resiko kesasar.

Gunung ini sendiri bersebelahan dengan Gunung Baliase yang memiliki
ketinggian 3.016 meter dari permukaan laut atau gunung tertinggi kedua
di Sulsel. Pendaki yang kesasar bisa saja mengarah ke gunung ini
menyusuri hutan kemudian tembus ke wilayah Poso Sulawesi Tengah. Salah
seorang pendaki dari Akar Indonesia, Iwan Akar yang sudah tiga kali
mencapai puncak Kambuno menuturkan. Hal tersulit dalam melakukan
pendakian ke gunung ini yakni ketika kembali dari pendakian. Pasalnya
pada saat melakukan penurunan ada beberapa jalur yang harus diketahui
dengan baik. "Salah jalur berarti kesasar, dan saya pernah satu kali
waktu melakukan pendakian ke sana, beberapa rombongan kami salah jalur
sehingga lambat empat hari sampai di camp pertama," ujarnya.

Lima orang pendaki dari Kampas tersebut tuturnya kemungkinan besar
kesasar saat sudah turun dari puncak Kambuno. Pasalnya mereka akan
merintis jalan saat turun dari puncak. "Apalagi ke lima orang ini
belum ada satupun yang pernah melakukan pendakian ke Kambuno, dua
orang diantaranya hanya pernah sampai di pos pertama kilometer 45,"
ucap Iwan.

Gunung ini sendiri pertama kali menjadi objek pendakian diperkirakan
sejak tahun 1994 hingga 1995. Kelompok pencinta alam yang diketahui
pertama kali melakukan pendakian ke gunung ini yakni Korps Pencinta
Alam (Korpala) Universitas Hasanuddin. Setelah puncak Kambuno atau
puncak Lantangunta berhasil ditembus oleh tim Korpala Unhas, beberapa
kelompok pencinta alam kembali bergantian mencapai puncak. Hingga
kelompok pencinta alam Se-Luwu Raya menjadikan gunung ini sebagai
salah satu objek pendakian yang menarik dan menantang.

Dari sisi mistik, gunung kambuno dikenal oleh warga setempat memiliki
kekuatan magis yang tinggi. Pasalnya antara Gunung Kambuno dan Baliase
berdasarkan cerita warga setempat masih ditunggui oleh sepasang jin.
Konon menurut cerita jin laki-laki sebagai penunggu Gunung Baliasse
dan jin perempuan sebagai penunggu Gunung Kambuno. Salah seorang tokoh
masyarakat Desa Mangkaluku atau desa terakhir sebelum pendakian,
Yunus, yang juga banyak dikenal oleh pendaki sebagai juru kunci Gunung
Kambuno menuturkan cerita sepasang jin yang menguasai kawasan Kambuno
dan Baliasse sudah ada sejak dulu.

Ada beberapa kawasan di gunung ini yang hingga saat ini masih dianggap
berbahaya untuk dimasuki. Pasalnya saat masuk ke wilayah itu cukup
sulit untuk menemukan jalur keluar. Bahkan bisa hingga menyebrang ke
Gunung Baliasse. Lebih jauh Yunus menuturkan kondisi medan di Kambuno
cukup berbahaya jika keluar dari jalur yang selama ini digunakan oleh
pendaki. Apalagi harus dilalui oleh orang baru. Pasalnya banyak ranjau
yang dipasang warga di gunung ini sebagai jaring untuk menangkap Anoa.
Hewan khas Sulawesi ini diketahui masih banyak di pegunung ini.

Dari sisi sejarahnya, gunung ini sendiri pernah dijadikan oleh
kelompok DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar sebagai markas sementara dan
tempat persembunyian. Di gunung ini kata Yunus, Kahar banyak
menyebarkan agama Islam. Bahkan penduduk disekitar gunung di kabarkan
banyak diislamkan oleh kelompok yang dipimpin oleh Kahar.

Sementara itu selain kasus terkahir hilangnya lima pendaki dari
Kampas, kasus serupa juga pernah terjadi diwilayah pegunungan
tersebut. Desember 2009 lalu dikabarkan seorang pekerja jalan yang
akan mengarah ke Seko hilang diperjalanan. Cuma pekerja jalan ini
tidak melalui jalur Desa Mangkaluku tapi melalui jalur Kanandede yang
merupakan jalur umum yang banyak dilalui oleh warga menuju ke Seko.
Hingga saat ini pekerja jalan tersebut menurut Camat Sabbang, Adi
Setiawan, juga belum diketahui keberadaannya. "Sebenarnya kasus ini
merupakan yang ketiga kalinya, dua kali pekerja jalan yang hilang.
Tapi yang hilang pertama kembali, cuma yang hilang kedua ini yang
tidak kembali-kembali hingga sekarang," ujar Adi.

Senin, 26 Januari 2009

Tidak kah Mereka Malu

Mereka yang Kecipratan Rezeki saat Imlek

Hari itu, Senin 26 Januari, hari raya Imlek yang juga ditetapkan sebagai hari libur nasional zaman pemerintahan Gusdur. Pegawai negeri sipil, pegawai bank, karyawan perusahaan-perusahaan swasta non keturunan Tionghoa setidaknya merasakan libur di hari tahun baru Cina.

Bagi saya, hari itu tetaplah sama dengan hari-hari biasa, aktivitas saya tetap seperti kemarin-kemarin. Bedanya, suasana kota yang agak tenang, kemacetan tak tampak. Pengemis pun tidak saya temukan di tempat-tempat yang biasanya banyak. Hari Imlek setidaknya memaksa saya bangun pagi. Bukan untuk beribadat, karena saya bukan keturunan Tionghoa, saya asli Bugis. Tapi menjalankan tugas. Kata teman-teman, tugas negara. Peliputan.

Imlek tahun ini, merupakan yang pertama kalinya saya ikuti. Bayangan peribadatan mereka sedikit terbenak dipikiran. Dalam pikiran saya, waktu peribadatan yang dilakukan hampir sama dengan Muslim saat melaksanakan lebaran, baik Idulfitri maupun Iduladha atau umat kristiani saat merayakan natal. Bergegas meninggalkan rumah sejak pukul tujuh pagi, takutnya ketinggalan. Yang ada, pagi hingga sore mereka dapat melakukan peribadatan. Berjamaah yang ada di pikiran saya meleset. Cerita-cerita tentang setiap kali Imlek tampak jelas di mata saya. Puluhan orang dengan busana yang tak terlalu istimewa melakukan ritualnya.

Bagi saya yang Muslim, penyembahan macam itu mungkin yang dikatakan ritual orang-orang syirik. Wallahu Wa'allam Bissalam. Hati nurani saya sebenarnya tak menginginkan menginformasikan hal-hal kesyirikan secara meluas. Namun tugas tetaplah tugas. Dalil ataupun hadis tentang penyebaran itu, selama ini belum saya ketahui. Setidaknya jika apa yang saya lakukan adalah hal yang salah, saya belum bisa dikatakan berdosa.

Di luar dari hal di atas, ada hal yang lebih mengiriskan dipandangan saya. Mungkin hanya saya ataukah mungkin ada juga diantara kalian. Ketika mereka orang-orang pribumi yang mayoritas Islam dengan bahagianya menyambut tahun baru Cina. Setidaknya hari itu, menjadi ladang ampao baginya. Saling sikutpun kadang terjadi, hanya untuk seribu rupiah. Yah... mereka memang setiap harinya melakukan hal demikian. Apa mau dikata, namanya profesi. Tapi, tidak kah mereka malu? Tidak ada malu ketika perut berbicara, kata Daeng Kebo, perempuan dengan kondisi fisik kurang normal. Jari tangan dan kakinya kecil dibanding orang-orang kebanyakan.

Imlek 2560. Setidaknya sama dengan sebelumnya, imlek adalah angpao alias amplop berisi uang. Ritual digelar, berharap sesuatu yang lebih di berbagai sudut kehidupan bisa diraih di tahun ini. Imlek dirayakan di tempat-tempat khusus, seperti kelenteng dan vihara.

Kawasan pecinaan khususnya di Jalan Sulawesi menjadi pusat perayaan imlek. Semua warga dari berbagai latar belakang berbaur di tempat ini. Masyarakat pribumi yang kesehariannya sebagai pengemis datang ke kelenteng dan vihara. Bedanya, jika para Tionghoa ke kelenteng untuk ibadah sementara pribumi datang mengais rezeki.

Berbekal topi, kantongan, mangkok dan piring plastik, serta alat lainnya. Mereka sudah bisa meraup ratusan ribu rupiah. Imlek setidaknya menjadi ladang rezeki tersendiri bagi pengemis. Kelenteng Kwan Kong di Jalan Sulawesi menjadi tempat yang ramai oleh pengemis. Kelenteng lainnya, seperti Xian Ma dan Maco juga terdapat pengemis namun tak seramai di Kwan Kong.

Posisi setidaknya berpengaruh terhadap penghasilan pengemis. Terbukti mereka yang duduk dekat pintu kelenteng lebih sering menerima sumbangan dari jemaah. Pengemis ini berjejer di pintu masuk kelenteng ibarat penjemput tamu. Bedanya mereka mengulurkan tangan meminta belas kasisan. Tak jelas berapa baris, pengemis menumpuk di sisi kiri dan kanan jalan menuju pintu masuk klenteng.

"Gantianki duduk di situ," teriak seorang perempuan setengah baya yang juga ikut mengemis dan duduk di bagian belakang. Teriakannya jelas terdengar, membuat mata tak sengaja memandangnya. Pecahan seribu rupiah menjadi pecahan yang paling sering mereka terima. Namun tak jarang pecahan uang dengan nominal lebih besar ikut diraih. Aksi kejar-kejaran pun sering terjadi antara pengemis yang mengais angpao dan yang memberi angpao. Dihalau petugas keamanan yang berjaga, digertak, hingga saling teriak. Teriakan "Nci, belumpi saya kodong," keluar dari mulut mereka yang tak kebagian saat para keturunan Tionghoa ini keluar dari kelenteng. Laki-lakipun dipanggilnya "Nci".

Tak kebagian tempat di bagian depan memaksa Daeng Kebo harus berdiri mengamati pengunjung kelenteng yang akan keluar. Menjulurkan tangannya yang menggenggam topi dilakukan setiap kali ada pengunjung kelenteng yang keluar. Tak hanya mereka yang memilki kondisi fisik yang kurang menguntungkan. Beberapa orang dengan bentuk tubuh sempurna, ikut berbaris mengais rezeki. Tidak kah mereka malu?

Puluhan anak-anak pun memanfaatkan momen imlek meminta angpao. Bocah kecil, kulitnya hitam, tubuhnya lusuh dengan rambut tak disisir lalu lalang di depan saya. Salah seorang dari mereka bernama Yudi. Anak yang duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, mengaku tinggal di sekitar Jalan Tentara Pelajar, sengaja datang untuk meminta angpao ke jemaah di Kelenteng Kwan Kong. Rasa malu meminta dengan cara mengemis mungkin belum terasa bagi Yudi.

Sekira satu jam saya berdiri di Kelenteng Kwan Kong menyaksikan mereka salin meneriaki, saling sikut, serta jemaah kelenteng yang berdatangan silih berganti. Tidak kurang 150 meter dari Kelenteng Kwan Kong, puluhan orang kembali berkumpul mengulurkan tangan ke setiap orang yang keluar dari sebuah gedung. Kelenteng Xian Ma yang juga dimanfaatkan sebagai Vihara Istana Naga Sakti, orang yang mengharap angpao di tempat ini kembali saya jumpai. Hal ini setidaknya menjadi penggambaran tiap kelenteng di kota ini.

Di Kelenteng Maco, jumlah pengemis yang ada di tempat ini lebih sedikit dibanding dua kelenteng sebelumnya. Tempat mereka duduk sedikit kurang strategis. Klenteng yang memiliki tempat parkir ini mengakibatkan kendaraan pengunjung langsung masuk ke area kelenteng. Akibatnya para pengemis yang menunggu di gerbang keluar, sangat jarang kecipratan rezeki. Di kelenteng ini mereka tampak lebih santai. Jumlahnya yang sedikit mungkin mempengaruhi kondisi di kelenteng ini.

Cara para keturunan Tionghoa ini memberikan uang ke para pengemis inipun beragam. Setidaknya hal itu tampak dari gerak raut muka mereka. Ada yang memberi sambil senyum, ada juga yang memberi sambil berlalu. Jelasnya jumlah lembaran uang ditangan mereka tak bisa memenuhi semua permintaan para pengemis yang ada. Saat tak kebagian, saat itulah aksi kejar sang pemilik uang dilakukan. Tidak kah mereka malu? (*)

WELCOME

Selamat datang di blog pemuda desa